SANG PEMIMPI
Untuk Ayahku Seman Said Harun,
Ayah juara satu seluruh dunia
* * *
Untuk KMR, yang slalu nyata dalam hidup dan mimpiku….
* * *
“Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah,
jika engkau tidak mengetahui siapa yang disembah akhirnya cuma
menyembah ketiadaan, suatu sembahan yang sia-sia.”
(Syekh Siti Jenar)
Sang Pemimpi
Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti
reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.Sang Pemimpi
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama
Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar- kejar seorang tokoh paling antagonis.
Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. “Ikal…. Aku tak kuat lagihhh…. Habis sudah napasku…. Kalian lihat para-para itu…?” Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na
Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk- liuk pilu dari pabrik itu. “Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman
punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat- jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam.3 What a Wonderful World
Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk melempar kepalanya.
“Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kauapakan??!!”Jimbron yang penakut memohon putus asa. “Aku tak bisa melompat, Kal….”
Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit
Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh
Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja
Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan. Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu.stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI’DIN, B.A.suhu tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar yang ditakuti.
Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus sinar
Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata.
Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari gelar B.A. itu ia adalah
“Berrrrandalll!!”Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan tubuh.
Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak ‘kan pernah punya SMA. la salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satusatunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di SMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75. Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu “Godeamus Igitur” yang ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit. Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglah orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu di SMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian Ichsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermutu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.
“…Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a …,” rayu seorang tauke berbisik agar anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibu kota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat kursi di SMA Bukan Main.Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sang jawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orang banyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri. anak saya dibanding anak-anak lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!”Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, “0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalahTersinggung berat, Pak Mustar muntab dan sertamerta memprovokasi,
“Aha! Tawaran yang menggiurkan!!” Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu di tengah majelis. “Seperti Nicholas Beaurain digoda berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu ‘kan kisah itu? ‘Gairah Cinta di Hutan’? Guy de Maupassant?” Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak.
“Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?”
“Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik …,” bujuk Pak Balia.
Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih,
“… Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ….” Benar saja.
“Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi
simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi persekongkolan!!”
“Bagaimana para orangtua?? Setuju dengan pendapat itu?!”babat alas di sini!!”
la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang.
“Tanpa saya SMA ini tak ‘kan pernah berdiri!! Saya
Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji
ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.
“Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati
aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini, terlalu banyak kongkalikong!!”
Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel.
“Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada
khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!”
Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik
ini tak ‘kan pernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian
“Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang.” Demikian jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.
la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara
pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, “Masalah- masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut.
Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!”
Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau
berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku,
Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja,
mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!
Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami.
Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuh gaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok sis-
ahlakul karimah. Integritasnya tak tercela. Ia seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginyaitu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada para siswa yang diterima.
wi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderetderet. Hanya aku dan Jimbron pejantan di sana.
“Kesempatan baik, Bron!!” aku girang, celingukan kiri kanan.
“Tak ada kompetisi!!” Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega.
“Mmhhh … mmhhaa … mainkan, Kal!!” Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap
daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung
itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas.
Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi
semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir
seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah
bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi,
aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika
bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian. Ah,
elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!
Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan
yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada di sana, hilir mudik
pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki
yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran
manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang
karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak.
Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri
di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat
tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing
bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta
dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas! Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar
menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik, mencuri
ga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian aku melesat kabur.
“Berrrandallllll!!!” Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku dan berusaha menjambak rambutku dengan
tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh- gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa, termasuk
Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. Dan yang paling sial adalah aku, selalu aku!
Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit penjaga sekolah meraung-raung menerorku.
Pritt!! Prriiiiiitttt… priiiiiiiiiittttt!!
Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah
sprinter SMA Bukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar.“Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ….”kencang-kencangnya hingga mencapai akselerasi sempurna.sumringah
Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu
itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong- lolong mendukungku.
“Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii…!!” Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang
tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak- teriak histeris membelaku, hanya membelaku
sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.
Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan anggun
antelop Tibet. Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat sambil tersenyum penuh arti. Bajuku yang tak berkancing
berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa tampan, merasa menjadi pahlawan. Dan yang terpenting,
dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor tujuh: Ternyata rahasia menarik perhatian seorang
gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.
Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar bernafsu
menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda.
Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya
susah payah, rebah satu per satu seperti permainan mendirikan kartu domino, menimbulkan kegaduhan
yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap, bangkit, dan pontang-panting kabur.
Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang
kaki lima. Aku melesat meliuk-liuk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar dan
komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit- jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku berbelok tajam
ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari se-
Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin lama semakin jauh.
Sebenarnya aku dapat lolos jika tak memedulikan panggilan sial ini, “Ikal!! … Ikal!!”
Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang, Jimbron
dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong. Mereka
yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak Mustar.
“Ikal… tolong, Kal…. Tolong ….” Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.
“Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu, Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!”
Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar
Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang
Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya
di gudang peti es inilah kami terperangkap.
Seakan dapat kurasakan setiap tarikan napasnya. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang
seperti Pak Mustar. Pria-pria berwajah manis dan kekejaman mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi
uwakku yang menjadi sipir di penjara Karimun. Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok
jago, dekil, omong besar, dan bertato di sana sini berada di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena
mereka tak lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok
TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya, berada di blok B, sel isolasi.
Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi, pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali senyumnya.
Sejarah menunjukkan bahwa Alexander Agung yang membakar ribuan wanita dan anak-anak,
Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan darah setinggi lutut, semua penjagal yang disebut
legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah manis. Maka berurusan dengan Pak Mustar aku
menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi yang tak dapat diduga.
Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku
menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan
pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincang. Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot
vespa
vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet Pho, turunan prajurit Hupo, semacam
pemilik gudang ini dan penguasa 16 perahu motor. Anak buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu
dan tak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena
kami telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan menuduh kami mencuri.
Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya
seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi, dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai tradisi
Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung sampai ke bawah telinga, bersurai-surai dengan tinta
Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat jelas dari matanya.
Lima orang pembantu setia Nyonya Pho—Parmin, Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio—membuka pintu gudang.
Gagal menjadi petani jagung, para transmigran ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta
dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang meng-
terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling genting,
aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku, tangan Arai.
“Ikal!” bisiknya sambil melirik peti es. Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!
Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku
Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang
sempit. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis
yang mengendap lama menyeruak. Isi peti mirip remahremah pembantaian makhluk bawah laui. Sempat terpikir
olehku untuk mengurungkan rencana gila itu, tapi kami tak punya pilihan lain.
“Ikal! Masuk duluan!” perintah Arai sok kuasa. Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali
aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena
berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron
dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak kurang dari 75 kilo. “Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!”
“Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!”
Aku merasa in charge. Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah.
“Tak sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?” Arai jengkel. “Ini bukan demokrasi! Atau kau mauCapo ?!” Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit!!”
berurusan dengan
“Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk itu….”
Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya
yang legendaris. “Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau
“Masuk!!” Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli
“Fantastik bukan?”
Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujam bola matanya, menyusupi lensa,
selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.
Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang
sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu lagu syahdu “What a Wonderful World” mengalir pelan.
Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan pasar yang kumuh menjadi memesona. Anak-anak kecil
Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis bermain tali dikelilingi gelembung-gelembung
busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana aurora.
Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai di lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap
kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai?
Beginikah seorang pemimpi melihat dunia? “Brragghh!!!”
Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam putih yang panjang. Kudengar langkah para pengangkat
satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. Dan tibalah momen yang dramatis itu ketika
mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia menjerit sejadi-jadinya. Wajahnya yang memang sudah
seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat hantu. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.
Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat
yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya. Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan
kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan
udang rebon basi. Kami melenggang tenang dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan
main. Ketika kami melewati Nyonya Pho, ia terjajar hampir jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya
menunjuk-nunjuk kami. Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.
“Ikkhhhh … ikkhhh … ikkha … ikan duyung!!!”
Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda, meributkan
uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya
ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan neneknya. Kalau polisi
menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajah serupa Arai dinaikkan ke bak
pick up,
melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak oleh kamera.
tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil suntikan silikon
dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada
24
Simpai Keramat
lantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit
di ketiaknya karung kecampang berisi beberapa potong
pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan
buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto
hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang
potlot yang kumal ia selipkan di daun telinganya,
penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya.
Tangan kirinya menggenggam beberapa lembar buku
tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh
dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya.
Sudah berjam-jam ia menunggu kami.
Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika
melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya
dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap
daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya
terbuka karena dipastikan tak ‘kan ada siapa-siapa
untuk mengambil apa pun. Laksana terumbu karang
yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan
segera menjadi sarang luak, atapnya akan menjadi lumbung
telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan
menjadi istana liang kumbang.
Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma
yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah merubung
jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat
gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar. Lalu ia
berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak seke-
25
Sang Pemimpi
cil itu telah belajar menguatkan dirinya. Ayahku berlinangan
air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat.
Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku
ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu
jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra,
memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang
Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak
truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatubatu.
Kami hanya diam. Arai adalah sebatang pohon kara
di tengah padang karena hanya tinggal ia sendiri dari
satu garis keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan
anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua
pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu
memberi julukan
Simpai Keramat
yang tersisa dari suatu klan.
Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan
telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku
tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos
sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir.
Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan
cobaan demikian berat sebagai
Simpai Keramat.
Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan
lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat
air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik
ayahku yang mencuri-curi pandang kepada kami, wajah
beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Meli-
26
Simpai Keramat
hatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum
dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam
kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan
ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.
“Ikal, lihatlah ini!!” bujuknya.
Dari dalam karung, ia mengeluarkan sebuah benda
mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku
semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu
sendirian, memainkannya juga sendirian di tengah-tengah
ladang tebu. Aku tersedu sedan.
Tapi bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu
semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan lidi
aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir
buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas bentuknya
sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya
mengandung konstruksi mekanis. Aku tergoda melihat
Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran
untuk mengambil ancang-ancang. Setelah beberapa kali
putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi
itu melengkung lalu saat putaran terakhir dilepaskan, ajaib!
Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan
tenaga balik yang memelintir gasing aneh ini dengan sempurna
360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran
balik ini menyebabkan butir-butir kenari tadi saling beradu
menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan.
Aku tergelak. Mata Arai bersinar-sinar.
27
Sang Pemimpi
Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti
mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai
telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru
berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya.
Dadaku sesak.
“Cobalah, Ikal….”
Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan
teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik
hati tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang
menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan hidupnya.
Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat
sebab tiba-tiba ia berputar sendiri dengan keras
sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan
buah-buah kenari itu berhamburan ke mukaku. Aku telah
memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku.
Ia memegangi perutnya menahan tawa. Belum
hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya
ke dalam karung kecampang.
“Masih ada lagi!!”
Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil
menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu dari
kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai
orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak kusangka
cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak
kasat. Arai membukanya pelan-pelan.
“Aiih … kumbang sagu!!”
28
Simpai Keramat
Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga
mainan langka yang susah ditangkap. Jika dipelihara
dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap
mengilat seperti tameng patriot Spartan itu dapat
menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan
kumbang itu merayapi lengannya. Makhluk kecil
yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang.
Arai membelai serangga kecil itu, menggenggamnya
dengan lembut lalu melemparkannya ke udara.
Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan
sayap-sayapnya, mengapung sebentar, berputar-
putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat
menembus rimbun dedaunan kemang di tepi jalan. Lalu
Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak
di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan-
pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan
angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat.
Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya
dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur
hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan
siap menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang
rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya melambailambai
seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyanggoyang
tubuhnya bak rajawali di angkasa luas.
“Dunia…!! Sambutlah aku…!! Ini aku, Arai, datang
untukmu …!!” Pasti itu maksudnya.
29
Sang Pemimpi
Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuatkuat
dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku
juga ingin menangis sekeras-kerasnya.
30
Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas
meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecil kami melekat
ke sana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena
jarak antara aku dan abang pangkuanku, abangku langsung,
sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat
terbaik buatku. Dan meskipun kami seusia, ia lebih abang
dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu
tecermin dari hal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan
bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang
Tuah, maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi
kaum Quraishi pada acara di balai desa, aku
berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin
menjadi panglima besar Hamzah. Jika aku Batman, ia
Sang Pemimpi
ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar.
Jika di kampung anak-anak bermain memperebutkan
kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan
salju, Arai akan menjulangku di pundaknya, sepanjang
sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak
pernah mau kugantikan. la mengejar layangan untukku,
memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku,
mengajariku berenang, menyelam, dan menjalin pukat.
Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen
gula merah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah
ada di saku bajuku. Arai diam-diam membuatnya untukku.
Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin
di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai
bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari
akar banar untuk dijual kepada penjual ikan. Akar
ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan
agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga yang mengajakku
mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di
rawa-rawa) yang kami jual pada pedagang kelontong
untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin
sekali menjadi
caddy
cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi
caddy,
paling tidak harus SMA.
Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo
hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yang istime-
32
The Lone Ranger
wa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia
sangat muda tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas
langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum
pada kepribadian dan daya hidupnya. Kesedihan hanya
tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur’an. Di hadapan
kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti orang
yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan
rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya.
Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an di bawah temaram lampu minyak dan
saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering
ranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya
mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengah ladang
tebu. Setiap lekukan
tajwid
muda itu adalah sayat kerinduan yang tak tertanggungkan
pada ayah-ibunya.
Jika Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil
yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti perca
dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka
tangga gubuknya, cemas menunggu harapan menjemputnya.
Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga
rumah panggung kami, kemudian berlari sekuat tenaga
menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di
tengah lapangan itu aku berteriak sejadi-jadinya.
33
Sang Pemimpi
Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu
ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang
menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu
yang baru.
“Oh, amboi, Ikal… tengoklah ini! Model rambut
paling mutakhir! Aiiihhh…. Toni Koeswoyo, rambut belah
tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua
pemain Koes Plus rambutnya belah tengah!”
Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto
Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telah menerapkan
belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit
pun kulihat nilai tambah pada wajahnya. Tapi karena
Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka
aku termakan juga. Ketika becermin, aku sempat tak kenal
pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat
pertama kali keluar kamar dengan gaya rambut Toni
Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu
karena abang-abangku menertawakan aku sampai berguling-
guling.
“Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!” ejek
mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutung
berebut ketela rambat.
Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar.
Aku tak menyalahkan mereka karena aku memang mirip
orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang,
dan tipis ketika dibelah tengah lepek di atasnya namun
34
The Lone Ranger
ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku.
Persis ekor angsa. Aku menyesal telah mengubah
sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam
panggung sebelum memperlihatkan penampilan baruku
pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur,
Arai serta-merta menghampiriku.
“Jangan takut, Tonto …,” ia menguatkan aku dengan
gaya
Lone Ranger.
Arai menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku
dengan gagah berani melewati ruang tengah
rumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar
menghadapi badai cemoohan. Papan-papan panjang
lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah
penuh gaya.
Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai
tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku
semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati
kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun kamar
kami hanyalah gudang
peregasan,
tidur di tengah rumah, bertumpuk-tumpuk seperti
pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat,
dan mendengkur.
Peregasan
padi. Orangtuaku dan sebagian besar orang Melayu
seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan
Jepang maka di setiap rumah pasti ada
peregasan.
35
Sang Pemimpi
Padi di dalam
peregasan
lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun.
Saat ini
peregasan
macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu
yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan
sekali-sekali membicarakan soal
peregasan.
sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal
peregasan,
saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan melantunkan
sabda rutinnya yang membuat kami bungkam.
Preambul: “Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan
hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang.”
Latar belakang masalah: “Pernahkah kalian melihat
kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnya
keras seperti kulit beduk? Aiii….”
Kesimpulan: “Padi itu akan tetap di situ. Melihat
keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang lagi!!”
Rekomendasi: “Maka Bujang-bujangku, daripada
kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu jika
kaupetikkan aku daun sirih!!”
Para orangtua Melayu tahu persis bahwa padi di
dalam
peregasan
mereka
peregasan
yang mewakili periode gelap selama tiga setengah
tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu,
masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma
menjadi nostalgia romantik yang tak ingin dilupakan.
Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan
jiwanya yang tak pernah kosong. Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah.
Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak ibu. Namun sungguh malang nasibnya, waktu ia kelas
satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di
samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal
bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas
tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.
Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku
menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di
depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah be-
dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral. Dan jika menonton TVRI, kita biasaWajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa- baru seni kriya yang baru pertama kali menjamahfalseto—
peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik demi detik berikutnya. Jantungku berdetak satu perCapo
pasti itu maksudnya.
menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku menggigit
lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.
Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka yang terbelalak dan kelabu membuatku gugup.
Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang. “Min, Mo, angkut yang ini!”
masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir keramat. Nyonya Pho kecewa berat. Di luar gudang
Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah duduk merokok. Aku membayangkan sebuah kejadian
janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan itu benar terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar
seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.
“Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat. Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya … tak berguna!”
Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti
tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson
sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jeritan mesin-mesin parut dan ketukan palu para
tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil
yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu per satu detakan jantung Jimbron,
lambat namun keras, gelisah dan mencekam. Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing
tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa
yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang.
ngambat
giriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulaisuspense.
momentum dengan menumpukan seluruh tena-
Hupo, Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal.….”ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga.Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.stainless, menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap.