oleh Nurul Huda Kariem MR.nurulkariem@yahoo.com

SANG PEMIMPI

Untuk Ayahku Seman Said Harun,

Ayah juara satu seluruh dunia

* * *

Untuk KMR, yang slalu nyata dalam hidup dan mimpiku….

* * *

“Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah,

jika engkau tidak mengetahui siapa yang disembah akhirnya cuma

menyembah ketiadaan, suatu sembahan yang sia-sia.”

(Syekh Siti Jenar)

 

Sang Pemimpi

Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti

 

reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.Sang Pemimpi

Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama

Jimbron yang tambun dan invalid—kakinya panjang sebelah—terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat. Di sampingnya, Arai, biang keladi seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah. la lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa pun, Arai selalu menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa diri karena dikejar- kejar seorang tokoh paling antagonis.

Samar-samar, lalu semakin jelas, suara langkah sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi kerang-kerang halus. Kami mengendap. Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang menjengkelkan. “Ikal…. Aku tak kuat lagihhh…. Habis sudah napasku…. Kalian lihat para-para itu…?” Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan sana teronggok reyot pabrik cincau dan para-para jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri na

Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk- liuk pilu dari pabrik itu. “Lompati para-para itu, menyelinap ke warung A Lung, dan membaur di antara para pembeli tahu, aman

 

punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat- jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.sib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam.3 What a Wonderful World

Aku meliriknya kejam. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk melempar kepalanya.

“Hebat sekali teorimu, Rai! Tak masuk akal sama sekali! Jimbron mau kauapakan??!!”Jimbron yang penakut memohon putus asa. “Aku tak bisa melompat, Kal….”

Lebih tak masuk akal lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit 

Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai tinggal di salah satu los di pasar kumuh 

Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja 

Aku mengintip keluar, 15 Agustus 1988 hari ini, musim hujan baru mulai. Mendung menutup separuh langit. Pukul empat sore nanti hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam, demikian di kota pelabuhan kecil Magai di Pulau Belitong, sampai Maret tahun depan. Semuanya gara-gara Arai. Kureka perbendaharaan kata kasar orang Melayu untuk melabraknya. Tapi lamat-lamat berderak mendekat suara sepatu pantofel. Aku mundur, tegang dan hening, keheningan beraroma mara bahaya. Arai menampakkan gejala yang selalu ia alami jika ketakutan: tubuhnya menggigil, giginya gemeletuk, dan napasnya mendengus satu-satu.stainless tadi dan sekarang pemisah kami dengan nasib buruk hanya beberapa keping papan tipis. Ketiga bayangan itu merapat ke dinding, dekat sekali sehingga  tercium olehku bau keringat seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. Ketika ia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam murahan yang tersemat di dadanya: MUSTAR M. DJAI’DIN, B.A.suhu  tertinggi perguruan silat tradisional Melayu Macan Akar  yang ditakuti.

Bayangan tiga orang pria berkelebat, memutus sinar 

Aku tercekat menahan napas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Dialah tokoh antagonis itu. Wakil kepala SMA kami yang frustrasi berat. Ia Westerling berwajah tirus manis. Bibirnya tipis, kulitnya putih. Namun, alisnya lebat menakutkan. Sorot matanya dan gerak-geriknya sedingin es. Berada dekat dengannya, aku seperti terembus suatu pengaruh yang jahat, seperti pengaruh yang timbul dari sepucuk senjata.

Pak Mustar menyandang semua julukan seram yang berhubungan dengan tata cara lama yang keras dalam penegakan disiplin. Ia guru biologi, Darwinian tulen, karena itu ia sama sekali tidak toleran. Lebih dari gelar B.A. itu ia adalah 

“Berrrrandalll!!”Ia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya, dan menggosok-gosokkan telunjuk itu untuk membersihkan emblem namanya yang berdebu. Aku melepaskan napas yang tertahan ketika ia membalikkan tubuh.

Sebenarnya Pak Mustar adalah orang penting. Tanpa dia, kampung kami tak ‘kan pernah punya SMA. la salah satu perintisnya. Akhirnya, kampung kami memiliki Sebuah SMA, sebuah SMA Negeri! Bukan main! Dulu kami harus sekolah SMA ke Tanjong Pandan, 120 kilometer jauhnya. Sungguh hebat SMA kami itu, sebuah SMA Negeri! Benar-benar bukan main! Namun, Pak Mustar berubah menjadi monster karena justru anak lelaki satusatunya tak diterima di SMA Negeri itu. Bayangkan, anaknya ditolak di SMA yang susah payah diusahakannya, sebab NEM anak manja itu kurang 0,25 dari batas minimal. Bayangkan lagi, 0,25! Syaratnya 42, NEM anaknya hanya 41,75. Setelah empat puluh tahun bumi pertiwi merdeka akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri. Bukan main. SMA ini segera menjadi menara gading takhta tertinggi intelektualitas di pesisir timur, maka ia mengandung makna dari setiap syair lagu “Godeamus Igitur” yang ketika mendengarnya, sembari memakai toga, bisa membuat orang merasa IQ-nya meningkat drastis beberapa digit. Pemotongan pita peresmian SMA ini adalah hari bersejarah bagi kami orang Melayu pedalaman, karena saat pita itu terkulai putus, terputus pula kami dari masa gelap gulita matematika integral atau tata cara membuat buku tabelaris hitung dagang yang dikhotbahkan di SMA. Tak perlu lagi menempuh 120 kilometer ke Tanjong Pandan hanya untuk tahu ilmu debet kredit itu. Karena itu berbondong-bondonglah orang Melayu, Tionghoa, Sawang, dan orang-orang pulau berkerudung ingin menghirup candu ilmu di SMA itu. Tapi tak segampang itu. Seorang laki-laki muda nan putih kulitnya, elok parasnya, Drs. Julian Ichsan Balia, sang Kepala Sekolah, yang juga seorang guru kesusastraan bermutu tinggi, di hari pendaftaran memberi mereka pelajaran paling dasar tentang budi pekerti akademika.

“…Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bender a …,” rayu seorang tauke berbisik agar anaknya yang ber-NEM 28 dan sampai tamat SMP tak tahu ibu kota provinsinya sendiri Sumsel, mendapat kursi di SMA Bukan Main.Kapitalis itu meliuk-liuk pergi seperti dedemit dimarahi raja hantu. Dan saat itulah Pak Mustar, sang jawara yang temperamental, tak kuasa menahan dirinya. Tanpa memedulikan situasi, di depan orang banyak ia memprotes Pak Balia, atasannya sendiri. anak saya  dibanding anak-anak lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!”Anak saya, kata-kata yang ditindas kuat oleh Pak Mustar. Semua keluarga, dari suku mana pun, menyayangi anak. Namun, anak lelaki bagi orang Melayu lebih dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati. Ayahku, yang mengantarku saat pendaftaran itu, berusaha membekap telingaku dan telinga Arai, anak angkat keluarga kami, agar tak mendengar pertengkaran yang sungguh tak patut ini. Tapi aku mengelak. Maka kudengar jelas argumen cerdas Pak Balia, “0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu adalahTersinggung berat, Pak Mustar muntab  dan sertamerta memprovokasi,

“Aha! Tawaran yang menggiurkan!!” Pak Balia meninggikan suaranya, sengaja mempermalukan tauke itu di tengah majelis. “Seperti Nicholas Beaurain digoda berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu ‘kan kisah itu? ‘Gairah Cinta di Hutan’? Guy de Maupassant?” Sang tauke tersipu. Dia hanya paham sastra sempoa. Senyumnya tak enak.

“Bijaksana kalau kausumbangkan jam dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara di sana tak bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?”

 

“Tak pantas kita berdebat di depan para orangtua murid. Bicaralah baik-baik …,” bujuk Pak Balia.

Pak Mustar yang merasa memiliki SMA itu menatapnya dari atas ke bawah, artinya kurang lebih,

“… Sok idealis. Anak muda bau kencur, tahu apa ….” Benar saja.

“Saya berani bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi 

 

simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi persekongkolan!!”

 

“Bagaimana para orangtua?? Setuju dengan pendapat itu?!”babat alas di sini!!”

la petantang-petenteng hilir mudik sambil bertelekan pinggang.

“Tanpa saya SMA ini tak ‘kan pernah berdiri!! Saya 

Pak Balia, memang masih belia, tapi ia pengibar panji 

ini sudah keterlaluan, merongrong wibawa institusi pendidikan! Guru muda ganteng ini jadi emosi.

“Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece, dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati

aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini, terlalu banyak kongkalikong!!”

Dada Pak Mustar turun naik menahan marah tapi Pak Balia telanjur jengkel.

“Seharusnya Bapak bisa melihat tidak diterimanya anak Bapak sebagai peluang untuk menunjukkan pada

khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal 42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!”

Pidato itu disambut tepuk tangan para orangtua. Jika wakil rakyat berwatak seperti Pak Balia, maka republik

ini tak ‘kan pernah berkenalan dengan istilah studi banding. Namun, akibatnya fatal. Setelah kejadian

 

“Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu zaman sekarang.” Demikian jargon pamungkas yang bertalu-talu digaungkannya.

la juga selalu terinspirasi kata-kata mutiara Deng Xio Ping yang menjadi pedoman tindakan represif tentara

pada mahasiswa di Lapangan Tiannanmen, “Masalah- masalah orang muda seperti akar rumput yang kusut.

Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan gunting yang tajam!!”

Senin pagi ini kuanggap hari yang sial. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. Beliau

berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. Celakanya banyak siswa yang terlambat, termasuk aku,

Jimbron, dan Arai. Lebih celaka lagi beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak Mustar. Dengan sengaja,

mereka meniru-nirukan pidatonya. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai!!

Pak Mustar ngamuk. la meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami.

Saat itu aku dan Jimbron sedang duduk penuh gaya di atas sepeda jengkinya yang butut. Sekelompok sis-

ahlakul karimah.  Integritasnya tak tercela. Ia seorang bumiputra, amtenar pintar lulusan IKIP Bandung. Baginyaitu, Pak Mustar berubah menjadi seorang guru bertangan besi. Beliau menumpahkan kekesalannya kepada para siswa yang diterima.

wi kelas satu yang juga terlambat nongkrong berderetderet. Hanya aku dan Jimbron pejantan di sana.

“Kesempatan baik, Bron!!” aku girang, celingukan kiri kanan.

“Tak ada kompetisi!!” Wajah Jimbron yang bulat jenaka merona-rona seperti buah mentega.

“Mmhhh … mmhhaa … mainkan, Kal!!” Tak membuang tempo, segera kami keluarkan segenap

daya pesona yang kami miliki secara habis-habisan untuk menarik perhatian putri-putri kecil semenanjung

itu. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang yang tak jelas.

Sedangkan aku, sebagai siswa SMA yang cukup kreatif, telah lama memiliki taktik khusus untuk situasi

semacam ini, yaitu mengaduk kepalaku dengan minyak hijau ajaib Tancho yang selalu ada dalam tasku, menyisir

seluruh rambutku ke belakang, lalu dengan tangan dan tenaga penuh menariknya kembali. Maka muncullah

bongkahan jambul berbinar-binar. Dan inilah puncak muslihat anak Melayu kampung: di dekat para siswi tadi,

aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu, yang sebenarnya tidak apa-apa, sehingga ketika

bangkit aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian. Ah,

elegan, elegan sekali. Sangat Melayu!

Sayangnya, gadis-gadis kecil itu rupanya telah dikaruniai Sang Maha Pencipta semacam penglihatan

yang mampu menembus tulang-belulang, sehingga bagi mereka tubuhku transparan. Aku ada di sana, hilir mudik

pasang aksi seperti bebek, tapi mereka tak melihatku, sebab tak seorang pun ingin memedulikan laki-laki

yang berbau seperti ikan pari. Dan bukannya mendapat simpati, ketika melakukan gerakan mengayun jambul dengan sedikit putaran

manis setengah lingkaran seperti aksi Jailhouse Rock Elvis Presley, aku malah terperanjat tak alang kepalang

karena para siswi di depanku menjerit-jerit histeris. Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak.

Tak sempat kusadari, secepat terkaman macan akar, secara amat mendadak, Pak Mustar telah berdiri

di sampingku. Wajahnya yang dingin putih menyeringai kejam. Aku menjejalkan pijakan langkahku untuk melompat

tapi terlambat. Pak Mustar merenggut kerah bajuku, menyentakku dengan keras hingga seluruh kancing

bajuku putus. Kancing-kancing itu berhamburan ke udara, berjatuhan gemerincing. Aku meronta-ronta

dalam genggamannya, menggelinjang, dan terlepas! Lalu wuttthhhh!!! Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar

menampar angin sebab aku merunduk. Aku berbalik, mencuri 

ga pada tunjangan kaki kanan dan sedetik kemudian aku melesat kabur. 

“Berrrandallllll!!!” Suara Pak Mustar membahana. la serta-merta mengejarku dan berusaha menjambak rambutku dengan

tangan cakar macannya. Kedua penjaga sekolah tergopoh- gopoh menyusulnya. Segerombolan siswa, termasuk

Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. Dan yang paling sial adalah aku, selalu aku!

Pak Mustar jelas-jelas hanya menyasar aku. Suara peluit penjaga sekolah meraung-raung menerorku.

Pritt!! Prriiiiiitttt… priiiiiiiiiittttt!!

Aku berlari kencang menyusuri terali sekolah. Pengejarku juga sial karena aku adalah 

sprinter SMA Bukan Main. Seluruh siswa berhamburan menuju pagar, riuh menyemangatiku karena mereka membenci Pak Mustar.“Lari!! Lari Kal!! Lari, Sayang ….”kencang-kencangnya hingga mencapai akselerasi sempurna.sumringah

Seumur-umur aku tak pernah diperhatikan seorang pun putri semenanjung, namun kini gadis-gadis manis Melayu

itu, yang tadi tak sedikit pun mengacuhkan aku, melolong- lolong mendukungku.

“Ikal!! Ikal!! Ayo!! Ikal, lari!! Lariiiiiiii…!!” Tenagaku terbakar. Kulirik sejenak jejeran panjang

tak putus-putus pagar nan ayu, ratusan jumlahnya, berteriak- teriak histeris membelaku, hanya membelaku

sendiri, sebagian melonjak-lonjak, yang lainnya membekap dada, khawatir jagoannya ditangkap garong.

 

Oh, aku melambung tinggi, tinggi sekali. Setiap langkahku terasa ringan laksana loncatan-loncatan anggun

antelop Tibet. Walau gemetar ketakutan tapi aku melesat sambil tersenyum penuh arti. Bajuku yang tak berkancing

berkibar-kibar seperti jubah Zorro. Aku merasa tampan, merasa menjadi pahlawan. Dan yang terpenting,

dalam kepanikan itu, sempat kutarik pelajaran moral nomor tujuh: Ternyata rahasia menarik perhatian seorang

gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit.

Aku menyeberangi jalan dan berlari kencang ke utara, memasuki gerbang pasar pagi. Pak Mustar bernafsu

menangkapku, jaraknya semakin dekat. Aku ketakutan dan tergesa-gesa meloncati palang besi parkir sepeda.

Celaka! Salah satu sepeda tersenggol. Lalu tukang parkir terpana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya

susah payah, rebah satu per satu seperti permainan mendirikan kartu domino, menimbulkan kegaduhan

yang luar biasa di pasar pagi. Aku terjerembap, bangkit, dan pontang-panting kabur.

Kejar-kejaran semakin seru saat aku melintasi pelataran dengan pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang

kaki lima. Aku melesat meliuk-liuk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Pak Mustar dan

komplotannya lekat di belakangku. Suara peluit menjerit- jerit. Orang-orang berteriak gaduh. Aku berbelok tajam

ke gang permukiman Kek yang panjang, berlari se-

Pak Mustar ketinggalan di belakangku, semakin lama semakin jauh.

Sebenarnya aku dapat lolos jika tak memedulikan panggilan sial ini, “Ikal!! … Ikal!!”

Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter dariku, baru saja berbelok dari sebuah mulut gang, Jimbron

dan Arai terengah-engah saling berpegangan. Jika berlari, Jimbron yang invalid harus dibopong. Mereka

yang tadi semburat tak menyadari arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak Mustar.

“Ikal… tolong, Kal…. Tolong ….” Aku terkesiap, kasihan, dan kesal.

“Biang keladi! Cukup sudah aku dengan tabiatmu, Rai. Lihat! Macan itu akan menerkammu!!”

Melihat sasaran nomplok tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar 

dan kembali bernafsu memburu kami. Jimbron dan Arai terseok-seok tak berdaya.es. Tatapanku lekat pada setiap gerakan kecil Pak Mustar.ia tak datang, harapanku habis. Aku berjalan menujuLambretta.

Aku ingin menyelamatkan Jimbron walaupun benci setengah mati pada Arai. Aku dan Arai menopang

Jimbron dan beruntung kami berada dalam labirin gang yang membingungkan. Kami menyelinap, hingga akhirnya

di gudang peti es inilah kami terperangkap. 

Seakan dapat kurasakan setiap tarikan napasnya. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang

seperti Pak Mustar. Pria-pria berwajah manis dan kekejaman mereka yang tak terbayangkan. Aku pernah mengunjungi

uwakku yang menjadi sipir di penjara Karimun. Di penjara itu kulihat pesakitan yang sangar, sok

jago, dekil, omong besar, dan bertato di sana sini berada di blok A, dikurung beramai-ramai seperti ayam karena

mereka tak lebih dari pencuri ayam atau tukang nyolong jemuran. Namun, mereka yang sampai hati merampok

TKW atau membunuh tanpa melepaskan rokok di mulutnya, berada di blok B, sel isolasi.

Penghuni blok B adalah pria-pria kecil yang rapi, pintar, bersih, santun lisannya, dan manis sekali senyumnya.

Sejarah menunjukkan bahwa Alexander Agung yang membakar ribuan wanita dan anak-anak,

Cortez yang membantai orang Indian sampai menggenangkan darah setinggi lutut, semua penjagal yang disebut

legenda itu tak lain adalah pria-pria tampan berwajah manis. Maka berurusan dengan Pak Mustar aku

menyadari bahwa kami sedang berada dalam situasi yang tak dapat diduga.

Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis ini. Pun aku tak melihat celah untuk lolos. Aku

menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. Dan 

pintu gudang diikuti Jimbron yang terpincang-pincang. Tapi tiba-tiba kami terperanjat karena dentuman knalpot

vespa 

Dan kami panik tak dapat menguasai diri. Benar-benar sial berlipat-lipat sebab penunggangcapo,  ketua preman pasar ikan. Ia

vespa itu adalah Nyonya Lam Nyet Pho, turunan prajurit Hupo, semacam

pemilik gudang ini dan penguasa 16 perahu motor. Anak buahnya ratusan pria bersarung yang hidup di perahu

dan tak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Beperkara dengan nyonya ini urusan bisa runyam. Karena

kami telah menyelinap dalam gudangnya, pasti ia akan menuduh kami mencuri.

Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya

seperti kucing tandang. Bahunya tegap, dadanya tinggi, dan raut mukanya seperti orang terkejut. Sesuai tradisi

Hupo, ia bertato, lukisan naga menjalar dari punggung sampai ke bawah telinga, bersurai-surai dengan tinta

Cina. Bengis, tega, sok kuasa, dan tak mau kalah tersirat jelas dari matanya.

Lima orang pembantu setia Nyonya Pho—Parmin, Marmo, Paijo, Tarji, dan Nasio—membuka pintu gudang.

Gagal menjadi petani jagung, para transmigran ini bermetamorfosis jadi kuli serabutan. Mesin Lambretta

dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang meng-

terisak-isak. Tubuhku merosot lemas. Nasib kami di ujung tanduk. Namun dalam detik yang paling genting,

aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku, tangan Arai.

“Ikal!” bisiknya sambil melirik peti es. Aku paham maksudnya! Luar biasa dan sinting!!

Itulah Arai dengan otaknya yang ganjil. Aku 

Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan cemas, ide yang memacu adrenalin, dan waktu yang

sempit. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup peti. Wajah kami seketika memerah saat bau amis

yang mengendap lama menyeruak. Isi peti mirip remahremah pembantaian makhluk bawah laui. Sempat terpikir

olehku untuk mengurungkan rencana gila itu, tapi kami tak punya pilihan lain.

“Ikal! Masuk duluan!” perintah Arai sok kuasa. Tatapanku berkilat mengancam Arai. Ingin sekali

aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji raksasa yang menganga di depanku. Itu penyiksaan karena

berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron

dan Arai. Berat Jimbron sendiri tak kurang dari 75 kilo. “Tak adil! Ini idemu Rai, kau masuk duluan!!”

“Jangan banyak protes! Badanmu paling kecil. Kalau tak masuk duluan, Jimbron tak bisa masuk!!”

Aku merasa in charge.  Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah.

“Tak sudi! Bagaimana pendapatmu, Bron?”  Arai jengkel. “Ini bukan demokrasi! Atau kau mauCapo ?!” Aku melongok ke dasar peti. Aku tak sanggup.tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit!!”

berurusan dengan 

“Tak bisa, Rai! Bisa kudisan aku kena umpan busuk itu….”

Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. Habis sudah kesabarannya dan meledaklah serapah khasnya

yang legendaris. “Kudisan?!! Kudisan katamu? Kau 

“Masuk!!” Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua tubuh kuli 

dengan berat tak kurang dari 130 kilo menindihku. Tulang-tulangku melengkung. Jika bergeser, rasanya akan patah. Setiap tarikan napas perihPeti itu miring—kami tercekat—tapi sama sekali tak terangkat. Pembantu Nyonya Pho mencoba berkalikali,baginya apa yang kami alami adalah sebuah petualangan

“Fantastik bukan?” 

Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. Tatapanku menghujam bola matanya, menyusupi lensa,

selaput jala, dan iris pupilnya, lalu tembus ke dalam lubuk hatinya, ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya.

Tiba-tiba aku merasa seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang

sedang duduk mendengarkan siaran radio BBC. Lalu lagu syahdu “What a Wonderful World” mengalir pelan.

Seiring alunan lagu itu dari celah-celah peti kusaksikan pasar yang kumuh menjadi memesona. Anak-anak kecil

Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat harmonis bermain tali dikelilingi gelembung-gelembung

busa. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana aurora.

Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai di lubang-lubang peti, terbang labuh. Sayap-sayap

kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai?

Beginikah seorang pemimpi melihat dunia? “Brragghh!!!”

Lamunanku terhempas di atas meja baru pualam putih yang panjang. Kudengar langkah para pengangkat

 

satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. Dan tibalah momen yang dramatis itu ketika  

mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, ia menjerit sejadi-jadinya. Wajahnya yang memang sudah

seperti orang terkejut membiru seperti anak kecil melihat hantu. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi.

Nyonya Pho ternganga dan bibirnya bergetar-getar. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat

yang becek. Kami tak sedikit pun memedulikannya. Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan

kami berbaris dengan tenang di atas meja pualam yang panjang: tak berbaju, berminyak-minyak, dan busuk belepotan

udang rebon basi. Kami melenggang tenang dipimpin seorang laki-laki pemimpi yang hebat bukan

main. Ketika kami melewati Nyonya Pho, ia terjajar hampir jatuh. Mukanya pias seakan ingin mati berdiri. Tangannya

menunjuk-nunjuk kami. Mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata seperti orang tercekik.

“Ikkhhhh … ikkhhh … ikkha … ikan duyung!!!”

Arai adalah orang kebanyakan. Laki-laki seperti ini selalu bertengkar dengan tukang parkir sepeda, meributkan

uang dua ratus perak. Orang seperti ini sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya

ditaksir. Barangnya itu dulang tembaga busuk kehijau-hijauan peninggalan neneknya. Kalau polisi

menciduk gerombolan bromocorah pencuri kabel telepon, maka orang berwajah serupa Arai dinaikkan ke bak

pick up, 

melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak oleh kamera.

 

tanah liat, pencet sana, melendung sini. Lebih tepatnya, perabotan di wajahnya seperti hasil suntikan silikon

dan mulai meleleh. Suaranya kering, serak, dan nyaring, persis vokalis mengambil nada 

 

mungkin karena kebanyakan menangis waktu kecil. Gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah. Tapi matanya istimewa.

24

Simpai Keramat

lantara ladang tebu yang tak terurus. Anak kecil itu mengapit

di ketiaknya karung kecampang berisi beberapa potong

pakaian, sajadah, gayung tempurung kelapa, mainan

buatannya sendiri, dan bingkai plastik murahan berisi foto

hitam putih ayah dan ibunya ketika pengantin baru. Sebatang

potlot yang kumal ia selipkan di daun telinganya,

penggaris kayu yang sudah patah disisipkan di pinggangnya.

Tangan kirinya menggenggam beberapa lembar buku

tak bersampul. Celana dan bajunya dari kain belacu lusuh

dengan kancing tak lengkap. Itulah seluruh harta bendanya.

Sudah berjam-jam ia menunggu kami.

Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika

melihat kami. Aku membantu membawa buku-bukunya

dan kami meninggalkan gubuk berdinding lelak beratap

daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya

terbuka karena dipastikan tak ‘kan ada siapa-siapa

untuk mengambil apa pun. Laksana terumbu karang

yang menjadi rumah ikan di dasar laut, gubuk itu akan

segera menjadi sarang luak, atapnya akan menjadi lumbung

telur burung kinantan, dan tiang-tiangnya akan

menjadi istana liang kumbang.

Kami menelusuri jalan setapak menerobos gulma

yang lebih tinggi dari kami. Kerasak tumpah ruah merubung

jalan itu. Arai menengok ke belakang untuk melihat

gubuknya terakhir kali. Ekspresinya datar. Lalu ia

berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. Anak seke-

25

Sang Pemimpi

cil itu telah belajar menguatkan dirinya. Ayahku berlinangan

air mata. Dipeluknya pundak Arai erat-erat.

Di perjalanan aku tak banyak bicara karena hatiku

ngilu mengenangkan nasib malang yang menimpa sepupu

jauhku ini. Ayahku duduk di atas tumpukan kopra,

memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang

Arai. Aku dan Arai duduk berdampingan di pojok bak

truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi berbatubatu.

Kami hanya diam. Arai adalah sebatang pohon kara

di tengah padang karena hanya tinggal ia sendiri dari

satu garis keturunan keluarganya. Ayah ibunya merupakan

anak-anak tunggal dan kakek neneknya dari kedua

pihak orangtuanya juga telah tiada. Orang Melayu

memberi julukan

 

 

 

Simpai Keramat

untuk orang terakhir

yang tersisa dari suatu klan.

Aku mengamati Arai. Kelihatan jelas kesusahan

telah menderanya sepanjang hidup. Ia seusia denganku

tapi tampak lebih dewasa. Sinar matanya jernih, polos

sekali. Lalu tak dapat kutahankan air mataku mengalir.

Aku tak dapat mengerti bagaimana anak semuda itu menanggungkan

cobaan demikian berat sebagai

 

 

 

Simpai Keramat.

Arai mendekatiku lalu menghapus air mataku dengan

lengan bajunya yang kumal. Tindakan itu membuat

air mataku mengalir semakin deras. Sempat kulirik

ayahku yang mencuri-curi pandang kepada kami, wajah

beliau sembap dan matanya semerah buah saga. Meli-

26

Simpai Keramat

hatku pilu, kupikir Arai akan terharu tapi ia malah tersenyum

dan pelan-pelan ia merogohkan tangannya ke dalam

kacung kecampangnya. Air mukanya memberi kesan

ia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia.

“Ikal, lihatlah ini!!” bujuknya.

Dari dalam karung, ia mengeluarkan sebuah benda

mainan yang aneh. Aku melirik benda itu dan aku

semakin pedih membayangkan ia membuat mainan itu

sendirian, memainkannya juga sendirian di tengah-tengah

ladang tebu. Aku tersedu sedan.

Tapi bagaimanapun perih aku tertarik. Mainan itu

semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan lidi

aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir

buah kenari tua yang telah dilubangi. Sepintas bentuknya

sepertii helikopter. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya

mengandung konstruksi mekanis. Aku tergoda melihat

Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran

untuk mengambil ancang-ancang. Setelah beberapa kali

putaran, sebatang lidi besar yang menjadi tuas konstruksi

itu melengkung lalu saat putaran terakhir dilepaskan, ajaib!

Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan

tenaga balik yang memelintir gasing aneh ini dengan sempurna

360 derajat, berulang-ulang. Lebih seru lagi putaran

balik ini menyebabkan butir-butir kenari tadi saling beradu

menimbulkan harmoni suara gemeretak yang menakjubkan.

Aku tergelak. Mata Arai bersinar-sinar.

27

Sang Pemimpi

Aku tersenyum tapi tangisku tak reda karena seperti

mekanika gerak balik helikopter purba ini, Arai

telah memutarbalikkan logika sentimental ini. la justru

berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya.

Dadaku sesak.

“Cobalah, Ikal….”

Aku merebut gasing aneh itu, mengamatinya dengan

teliti bukan hanya sebagai mainan yang menarik

hati tapi sebagai sebuah kisah tentang anak kecil yang

menciptakan mainan untuk melupakan kepedihan hidupnya.

Aku memutar gasing itu sekali, namun aku terperanjat

sebab tiba-tiba ia berputar sendiri dengan keras

sehingga konstruksinya bingkas, lidi-lidinya patah, dan

buah-buah kenari itu berhamburan ke mukaku. Aku telah

memutarnya terlalu kencang. Arai terkekeh melihatku.

Ia memegangi perutnya menahan tawa. Belum

hilang rasa terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya

ke dalam karung kecampang.

“Masih ada lagi!!”

Ia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil

menghiburku. Kali ini ia mengeluarkan sebuah cupu dari

kayu medang yang berlubang-lubang. Biasa dipakai

orang Melayu untuk menyimpan tembakau. Tak kusangka

cupu itu telah dibelah dan sambungannya tak

kasat. Arai membukanya pelan-pelan.

“Aiih … kumbang sagu!!”

28

Simpai Keramat

Aku memekik tak terkendali. Kumbang sagu, serangga

mainan langka yang susah ditangkap. Jika dipelihara

dan diberi makan remah kelapa, kumbang bersayap

mengilat seperti tameng patriot Spartan itu dapat

menjadi jinak. Tak berkedip aku melihat Arai membiarkan

kumbang itu merayapi lengannya. Makhluk kecil

yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang.

Arai membelai serangga kecil itu, menggenggamnya

dengan lembut lalu melemparkannya ke udara.

Ditiup angin kencang di atas truk kumbang itu meregangkan

sayap-sayapnya, mengapung sebentar, berputar-

putar seolah merayakan kemerdekaannya lalu melesat

menembus rimbun dedaunan kemang di tepi jalan. Lalu

Arai melangkah menuju depan bak truk. la berdiri tegak

di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. Pelan-

pelan ia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan

angin menerpa wajahnya. Ia tersenyum penuh semangat.

Agaknya ia juga bertekad memerdekakan dirinya

dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur

hidup. Ia telah berdamai dengan kepedihan dan

siap menantang nasibnya. Jahitan kancing bajunya yang

rapuh satu per satu terlepas hingga bajunya melambailambai

seperti sayap kumbang sagu tadi. Ia menggoyanggoyang

tubuhnya bak rajawali di angkasa luas.

“Dunia…!! Sambutlah aku…!! Ini aku, Arai, datang

untukmu …!!” Pasti itu maksudnya.

29

Sang Pemimpi

Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuatkuat

dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku

juga ingin menangis sekeras-kerasnya.

30

Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas

meja dan magnet di bawahnya. Sejak kecil kami melekat

ke sana kemari. Aku semakin dekat dengannya karena

jarak antara aku dan abang pangkuanku, abangku langsung,

sangat jauh. Arai adalah saudara sekaligus sahabat

terbaik buatku. Dan meskipun kami seusia, ia lebih abang

dari abang mana pun. Ia selalu melindungiku. Sikap itu

tecermin dari hal-hal paling kecil. Jika kami bermain melawan

bajak laut di Selat Malaka dan aku sebagai Hang

Tuah, maka ia adalah Hang Lekir. Dalam sandiwara memerangi

kaum Quraishi pada acara di balai desa, aku

berperan selaku Khalifah Abu Bakar, Arai berkeras ingin

menjadi panglima besar Hamzah. Jika aku Batman, ia

Sang Pemimpi

ingin menjadi Robin atau paling tidak menjadi kelelawar.

Jika di kampung anak-anak bermain memperebutkan

kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti hujan

salju, Arai akan menjulangku di pundaknya, sepanjang

sore berputar-putar di lapangan tak kenal lelah, tak

pernah mau kugantikan. la mengejar layangan untukku,

memetik buah delima di puncak pohonnya hanya untukku,

mengajariku berenang, menyelam, dan menjalin pukat.

Sering bangun tidur aku menemukan kuaci, permen

gula merah, bahkan mainan kecil dari tanah liat sudah

ada di saku bajuku. Arai diam-diam membuatnya untukku.

Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin

di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai

bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari

akar banar untuk dijual kepada penjual ikan. Akar

ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan

agar mudah ditenteng pembeli. Dia juga yang mengajakku

mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di

rawa-rawa) yang kami jual pada pedagang kelontong

untuk mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin

sekali menjadi

 

 

 

caddy

di padang golf PN Timah tapi belum

cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi

 

 

 

caddy,

paling tidak harus SMA.

Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo

hari, aku mengerti bahwa ia adalah pribadi yang istime-

32

The Lone Ranger

wa. Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia

sangat muda tapi ia selalu positif dan berjiwa seluas

langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum

pada kepribadian dan daya hidupnya. Kesedihan hanya

tampak padanya ketika ia mengaji Al-Qur’an. Di hadapan

kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti orang

yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang melawan

rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya.

Setiap habis magrib Arai melantunkan ayat-ayat

suci Al-Qur’an di bawah temaram lampu minyak dan

saat itu seisi rumah kami terdiam. Suaranya sekering

ranggas yang menusuk-nusuk malam. Ratap lirihnya

mengirisku, menyeretku ke sebuah gubuk di tengah ladang

tebu. Setiap lekukan

 

 

 

tajwid

yang dilantunkan hati

muda itu adalah sayat kerinduan yang tak tertanggungkan

pada ayah-ibunya.

Jika Arai mengaji, pikiranku lekat pada anak kecil

yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti perca

dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka

tangga gubuknya, cemas menunggu harapan menjemputnya.

Jika Arai mengaji, aku bergegas menuruni tangga

rumah panggung kami, kemudian berlari sekuat tenaga

menerabas ilalang menuju lapangan di tepi kampung. Di

tengah lapangan itu aku berteriak sejadi-jadinya.

 

 

33

Sang Pemimpi

Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu

ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang

menjadi anak yang pintar. la selalu ingin mencoba sesuatu

yang baru.

“Oh, amboi, Ikal… tengoklah ini! Model rambut

paling mutakhir! Aiiihhh…. Toni Koeswoyo, rambut belah

tengahnya itu! Elok bukan buatan! Lihatlah, Kal, semua

pemain Koes Plus rambutnya belah tengah!”

Demikian hasutan Arai sambil mengagumi foto

Koes Plus di sampul buku PKK-nya. la telah menerapkan

belah tengah seminggu sebelumnya dan tak sedikit

pun kulihat nilai tambah pada wajahnya. Tapi karena

Arai memang diberkahi dengan bakat menghasut, maka

aku termakan juga. Ketika becermin, aku sempat tak kenal

pada diriku sendiri. Aku gugup bukan main saat

pertama kali keluar kamar dengan gaya rambut Toni

Koeswoyo itu. Aku berdiri mematung di ambang pintu

karena abang-abangku menertawakan aku sampai berguling-

guling.

“Ha ha ha! Lihatlah orang-orangan ladang!!” ejek

mereka bersahut-sahutan seperti segerombolan lutung

berebut ketela rambat.

Rasanya aku ingin kabur masuk kembali ke kamar.

Aku tak menyalahkan mereka karena aku memang mirip

orang-orangan ladang. Rambutku yang ikal, panjang,

dan tipis ketika dibelah tengah lepek di atasnya namun

34

The Lone Ranger

ujung-ujungnya jatuh melengkung lentik di atas pundakku.

Persis ekor angsa. Aku menyesal telah mengubah

sisiranku dan di ambang pintu kamar itu aku demam

panggung sebelum memperlihatkan penampilan baruku

pada dunia. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur,

Arai serta-merta menghampiriku.

“Jangan takut, Tonto …,” ia menguatkan aku dengan

gaya

 

 

 

Lone Ranger.

Arai menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku

dengan gagah berani melewati ruang tengah

rumah. Dalam dukungan Arai, aku tak sedikit pun gentar

menghadapi badai cemoohan. Papan-papan panjang

lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah

penuh gaya.

Demikianlah, arti Arai bagiku. Maka sejak Arai

tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. Aku

semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati

kamar hanya untuk kami berdua. Walaupun kamar

kami hanyalah gudang

 

 

 

peregasan,

jauh lebih baik daripada

tidur di tengah rumah, bertumpuk-tumpuk seperti

pindang bersama abang-abangku yang kuli, bau keringat,

dan mendengkur.

 

 

Peregasan

 

 

 

adalah peti papan besar tempat menyimpan

padi. Orangtuaku dan sebagian besar orang Melayu

seangkatan mereka demikian trauma pada pendudukan

Jepang maka di setiap rumah pasti ada

 

 

 

peregasan.

35

Sang Pemimpi

Padi di dalam

 

 

 

peregasan

sebenarnya sudah tak bisa

lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun.

Saat ini

 

 

 

peregasan

tak lebih dari surga dunia bagi bermacam-

macam kutu dan keluarga tikus berbulu kelabu

yang turun-temurun beranak pinak di situ. Namun, jangan

sekali-sekali membicarakan soal

 

 

 

peregasan.

Ini perkara

sensitif. Jika sedikit saja kami menyinggung soal

 

 

peregasan,

 

 

 

misalnya kenapa padi lapuk itu tak dibakar

saja, maka ibuku, sambil bersungut-sungut, akan melantunkan

sabda rutinnya yang membuat kami bungkam.

Preambul: “Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan

hidup kecuali kalian hidup di zaman Jepang.”

Latar belakang masalah: “Pernahkah kalian melihat

kaum pria bercelana karung goni sehingga kulitnya

keras seperti kulit beduk? Aiii….”

Kesimpulan: “Padi itu akan tetap di situ. Melihat

keadaan negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang lagi!!”

Rekomendasi: “Maka Bujang-bujangku, daripada

kaupusingkan soal padi itu, lebih berguna hidupmu jika

kaupetikkan aku daun sirih!!”

Para orangtua Melayu tahu persis bahwa padi di

dalam

 

 

 

peregasan

sudah tak bisa dimakan. Namun, bagi

mereka

 

 

 

peregasan

adalah metafora, budaya, dan perlambang

yang mewakili periode gelap selama tiga setengah

tahun Jepang menindas mereka. Ajaibnya sang waktu,

masa lalu yang menyakitkan lambat laun bisa menjelma

menjadi nostalgia romantik yang tak ingin dilupakan.

 

 

36
 

 

Di situlah pusat gravitasi pesona Arai. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan

jiwanya yang tak pernah kosong. Sesungguhnya, aku dan Arai masih bertalian darah.

Neneknya adalah adik kandung kakekku dari pihak ibu. Namun sungguh malang nasibnya, waktu ia kelas

satu SD, ibunya wafat saat melahirkan adiknya. Arai, baru enam tahun ketika itu, dan ayahnya, gemetar di

samping jasad beku sang ibu yang memeluk erat bayi merah bersimbah darah. Anak-beranak itu meninggal

bersamaan. Lalu Arai tinggal berdua dengan ayahnya. Kepedihan belum mau menjauhi Arai. Menginjak kelas

tiga SD, ayahnya juga wafat. Arai menjadi yatim piatu, sebatang kara. Ia kemudian dipungut keluarga kami.

Aku teringat, beberapa hari setelah ayahnya meninggal, dengan menumpang truk kopra, aku dan ayahku

menjemput Arai. Sore itu ia sudah menunggu kami di

depan tangga gubuknya, berdiri sendirian di tengah be-

 

 

dibopong karena tulang keringnya dicuncung sepatu jatah kopral. Dan jika menonton TVRI, kita biasaWajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa- baru seni kriya yang baru pertama kali menjamahfalseto—

peti bergegas pergi. Kami menunggu dengan tegang detik demi detik berikutnya. Jantungku berdetak satu perCapo

pasti itu maksudnya.

menyayat-nyayat rusukku. Perutku ngilu seperti teriris karena diikat dinginnya sebatang balok es. Aku menggigit

lenganku kuat-kuat menahan penderitaan. Bau anyir ikan busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati.

Tatapan nanar bola mata mayat-mayat ikan kenangka yang terbelalak dan kelabu membuatku gugup.

Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang. “Min, Mo, angkut yang ini!”

 

masih tak terangkat. Peti itu membatu seperti menhir keramat. Nyonya Pho kecewa berat. Di luar gudang

Pak Mustar dan dua orang penjaga sekolah tadi tengah duduk merokok. Aku membayangkan sebuah kejadian

janggal dan belum sempat kucerna firasatku, kejanggalan itu benar terjadi. Suara Nyonya Pho kembali menggelegar

seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.

“Bujang! Tolong sini! Angkat peti ini ke stanplat. Daripada kalian merokok saja di situ, aya ya … tak berguna!”

Sekarang delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. Di sekitar peti

tukang parkir berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. Klakson

sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jeritan mesin-mesin parut dan ketukan palu para

tukang sol. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil

yang dipencet penjual mainan anak-anak. Di punggungku kurasakan satu per satu detakan jantung Jimbron,

lambat namun keras, gelisah dan mencekam. Berbeda dengan Arai. Waktu peti melewati para pengamen ia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing

tamborin. Dan ia tersenyum. Aku mengerti bahwa

yang asyik. la melirikku yang terjepit tak berdaya, senyumnya semakin girang.

ngambat

giriskan. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulaisuspense.

momentum  dengan menumpukan seluruh tena-

Hupo, Tionghoa tulen yang menjadi  paranoid  karena riwayat perang saudara. Ratusan tahun mereka menanggungkan sakit hati sebab kalah bertikai. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kumpeni, ganas menindas orangorang Kek. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi orang Melayu membuat mereka selalu curiga pada siapa pun. Tak segan mereka melepaskan anjing untuk mengejar orang yang tak dikenal.….”ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi kuli ngambat—tukang pikul ikan — di dermaga.Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan sekolah kami bisa terperangkap di gudang peti es ini. Aku mengawasi sekeliling.stainless,  menciptakan pedang cahaya, putih berkilauan, tak terbendung melesat-lesat menerobos sudut-sudut gelap yang pengap.